Wednesday, December 28, 2011

aku menantang rindu di bukit kutukan

(dari sebuah syair yang tak berjudul)

pada puncak pendakian yang terjal
sebuah lirih lamat terdengar
berulang dan kemudian menghilang

tapi apakah itu zikir atau hanya sedu ?

juga seperti tangis
isak yang coba disembunyikan
keluh yang coba dipendam
resah yang coba ditahan

itu seperti ode
sebuah kidung penyesalan
yang mirip ratapan
seorang kekasih tuhan
yang melakukan pengakuan

malam berhenti
bukit kutukan memeluk sepi
dan bulan... ada di langit mana kini
(aku rindu)
aku menanti
aku berdiri disini
untuk men-ada kembali

jtg – kdg / 2004 – 2011

setengah nostalgi

untuk merayakan sebuah kenangan

ada sebentang waktu
dirangkai seperti puisi
alpabeta mimpi
tanpa bait
dihatiku, mungkin
huruf, angka merangkai kata
lalu, aku mencipta monografi
untuk masa lalu
kenangan itu...
ingatan disapih lupa, luka, juga tawa

tapi jangan dipikirkan bila itu ada
terjadi dalam hidupmu
itu bukan kisah sebuah novel
waktu, kebetulan iseng ditulis disitu
mungkin suatu ketika, kita teringat
dan tergoda untuk mengejanya kembali
sebagai setengah nostalgi
tanpa rasa sakit di hati...

tlgt, 2005

Saturday, December 24, 2011

tangan tuhan, di leher kekasihnya...

kata perempuan itu :
sebelum sajak lahir... sebelum puisi menjadi dewasa...
sebelum kita mampu mengeja mantra.
tuhan sudah ada... dia sudah mentaburi
perbukitan ini—tangan perempuan itu
menunjuk jauh, ke arah perbukitan—dengan
pohonan yang menghijau.

(ada hamparan langit biru di atasnya, juga
sekerumunan awan... hal yang cukup indah
sebenarnya, untuk “bergosip” tentang tuhan)

tapi aku lihat perempuan itu seperti
meng-igau saja... bukan tak percaya
tapi apa yang bisa kita mengerti ?
apa hubungannya tuhan dengan sajak ? dengan puisi ?
apalagi mantra ? dan pepohonan yang menghijau
di perbukitan itu ?

perempuan itu hanya tersenyum
seakan membaca ragu dalam pikiranku
kata perempuan itu lagi :
kamu hanya melihat dengan mata biasa
dan memahaminya sekena-nya saja
kadang jawaban tidak harus di ucapkan dengan kata-kata
tidak juga harus ditulis dalam kitab yang suci
lihat perbukitan itu—tangan perempuan itu
kembali menunjuk jauh, ke arah perbukitan—
dibalik kehijauan pepohonan itu...

aku menatap nanar ke arah perbukitan itu.
aku pikir itu hanya hutan... tidak ada makna apa-apa

(dan keadaan ini, jujur bukan suatu yang nyaman
untuk terus bergosip tentang tuhan)

dan payahnya...perempuan itu, mengelengkan kepala
seakan membaca isi pikiranku...
setengah bergurau, untuk
memudarkan prasangka perempuan itu
kukatakan :
aku percaya di dalam perut perbukitan itu
ada batubaranya...

perempuan itu kembali tersenyum, tapi
dengan raut muka yang tampak masam

(kdg, diantara perbukitan batu, 20/12/2011)

kau pakai kata yang biasa saja

1
sms-mu terlalu terlalu manis...kawan

aku tahu kau pujangga
mahir menyusun tata kata
mengurai, mengait, me-rima
kadang seperti prosa
kadang seperti mantra
kadang seperti soneta

aku membaca-nya... bak mengaji saja
ah, padahal suaraku...alangkah buruknya...

lain kali, kau pakai kata yang biasa saja
supaya mudah untuk dibaca
dan aku cepat memahaminya

2
aku anak zaman sekarang
malas mencerna... malas mikir
untuk mengerti dan memahami lebih mendalam
aku anak zaman, yang sukanya, yang instan saja

beda kau, yang lahir dari rahim zaman
ketika puisi jadi raja
ketika sastra adalah keutamaan
ketika membaca adalah tiang peradaban
ketika filsafat jadi ibu dari segala ilmu
jadinya kau pintar merangkai kata
dan pandai pula membingkai makna

3
dari syair ke syair...
dari sajak ke sajak...
sms demi sms...

aku pikir suatu saat kau akan menghentikan sms itu
sebelum kau terlalu banyak menghabiskan pulsa
sebelum keypad hape kau tu memudar
sebelum jari-jari kau, terserang stroke

kirim sms ke aku... pakai sms biasa saja
atau kubuang saja nomor ponselku
ke laut...

Sunday, December 18, 2011

sungai amandit

dan kisah pemberontak yang setia)

disetiap riam
disetiap lok
disetiap mata air
sungai amandit
ada ceceran sejarah :
kita rakyat jaba
adalah pemberontak yang setia
menentang pancaroba zaman
melawan hukum besi dunia

bahwa leluhur kita
adalah penjaga rimba sejati
adalah abdi abadi tanah dan huma

sampai jadi arang
sampai hanyut di sungai amandit
ketika pohon terakhir tumbang
di hulu sungai...
kita rakyat jaba
tetap pemberontak yang setia


---tepi sungai amandit, desember 2011

Tuesday, December 13, 2011

PROSA DI SUATU MUSIM SEMI

saya berkhayal. sungai dengan rakit bambu yang ia dayung kini, dahulunya
adalah penanda tanah huma, tempat tersubur menanam dan memanen
puisi kehidupan. tempat dimana, pohon cinta bersemai.

setelah reda hujan pagi. dari hulu amandit. ia menanjak arus, menyusuri belantara.
menghitung setiap jengkal tanah, setiap pohonan dan semua dedaunan. mengukur luas hamparan semak belukar serta mengira seberapa lagi padang rerumputan yang tersisa. bahwa ketika semua hanya menjadi kenangan, dengan tiada jejak yang tertinggal. dalam jiwanya, ia masih menyimpan bau wewangian dupa, setangkai kembang mayang, selembar daun sirih.

sebelum hujan datang kembali.
sebelum matahari menghabiskan tetesan terakhir embun
diakhirinya, perjalanan ingatan ini. dihentikannya putaran memori
ia lipat peta dan gps. ia sadar, di titik ia berdiri. ia kehilangan tanda, juga kehilangan penanda.

ia ingin kembali ke masa depan. ke kota, tempat dimana bisa merayakan modernitas
merayakan ingatan di bawah tugu yang tampak angkuh. ia hendak mengadukan resah hatinya. bahwa musim semi kini, membuatnya gamang. galau oleh impian yang dibangunnya, tentang pesona tanah leluhur


kdg, awal desember 2011

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More